Diduga Terjadi Kejanggalan Hukum Saat Penyitaan Aset Oleh Satgas BLBI

Penyitaan aset PT Bogor Raya Development (BRD) dan PT Bogor Raya Estatindo (BRE) yang dilakukan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) pada hari Rabu (22 Juni 2022) lalu, diduga terjadi masih menyisahkan kejanggalan.

Korankalimantan.com Satgas BLBI menduga aset BRD dan BRE yang disita memiliki keterkaitan dengan dua pemilik eks Bank Asia Pasific (Aspac) yakni Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono. Padahal, BRD dan BRE tidak ada sangkut pautnya dengan Aspac maupun dengan Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.

Penyitaan terhadap lahan milik sah BRD seluas 89,01 hektar berupa lapangan golf Bogor Raya serta Hotel Ibis Style dan Novotel, yang bersebelahan dengan Jalan Tol Jagorawi ruas Bogor Selatan dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polkam) Prof Mahfud MD bersama Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Agus Andrianto dan Kepala Satgas BLBI Rionald Silaban. Mahfud menyebut, nilai penyitaan aset BRD dan BRE mencapai Rp 2 triliun.

Lelyana Santosa dari kantor pengacara Lubis, Santosa & Maramis yang menjadi kuasa hukum BRD dan BRE menyebut ada lima kejanggalan tindakan penyitaan yang dilakukan Satgas BLBI yaitu :

(1). Satgas BLBI menyita barang yang bukan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yaitu Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono sehingga tidak sesuai dengan Pasal 165 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 240 Tahun 2016. Tanah dan bangunan yang disita terdaftar di Kantor Pertanahan sebagai milik BRD dan BRE dan bukan milik Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.

(2). Surat Paksa No. SP-2061/PUPNC.10.00/2019 tertanggal 31 Juni 2019 tidak pernah diberitahukan karena dalam Surat Perintah Penyitaan No. SPS-03/PUPNC.10.01/2022 tertanggal 6 Juni 2022 tidak pernah disebutkan adanya Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa. Karenanya penyitaan dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dalam Pasal 163 Peraturan Menteri Keuangan No. 240 Tahun 2016.

(3). Sebelum penyitaan dilakukan, BRD dan BRE sebagai pemilik dari aset-aset yang disita tidak pernah diberikan kesempatan oleh Ketua Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang DKI Jakarta untuk menyampaikan pendapat dan klarifikasi sehingga melanggar kewajiban dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

(4). Ketua PUPN Cabang DKI Jakarta tidak mengumpulkan informasi, dan dokumen-dokumen yang relevan untuk menilai jika penyitaan telah memenuhi syarat dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

(5). Ketua PUPN Cabang DKI Jakarta tidak memberitahukan Surat Perintah Penyitaan No. SPS-03/PUPNC.10.01/2022 tanggal 6 Juni 2022 kepada BRD dan BRE selaku pihak yang terkait dengan penyitaan, dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Berdasarkan kejanggalan dan kesalahan konstruksi penerapan hukum dari penyitaan tersebut, Lelyana menganggap penyitaan aset milik BRD dan BRE tidak sah secara hukum.

“Kami menghormati upaya pemerintah untuk memperoleh pembayaran atas piutangnya namun upaya ini tidaklah boleh dilakukan secara serampangan. Tidak masuk akal dan tentunya melawan hukum terhadap penyitaan aset dari pihak yang tidak memiliki beban tanggungjawab atas pengembalian piutang negara. Menjadi sebuah ironi manakala pemerintah justru merugikan pihak yang seyogyanya mereka lindungi,” papar Lelyana Santosa.

(Slv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *